Ini adalah acara rutin tahunan. Diselenggarakan sehari menjelang Hari Nyepi, serangkaian dengan pelaksaaan upacara Tawur Kesanga, yakni upacara kurban yang ditujukan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan Bhuta Kala (roh halus) yang hidup di sekitarnya. Sesuai ajaran Tri Hita Karana, penganut Hindu di Bali tidak mengenal penghancuran atau pengusiran roh, sejahat apa pun dia. Menurut keyakinan mereka, roh tersebut berhak hidup sebagaimana layaknya manusia. Yang terpenting bagi mereka, keduanya tidak saling mengganggu. Karena itulah orang Bali menyelenggarakan upacara-upacara serta aktivitas kehidupan khusus lainnya untuk menyeimbangkan kehidupan mereka dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud termasuk tumbuhan, hewan, roh dan benda-benda. Pawai Ogoh-ogoh sendiri merupakan pelengkap dari ritual Tawur Kesanga tersebut.
Sejatinya, Ogoh-ogoh di Bali muncul pada awal tahun 1980-an. Ia muncul dari kreativitas anak muda Bali untuk memeriahkan malam Pangerupukan, sehari menjelang Hari Nyepi. Sebelumnya, ritual ini hanya diisi dengan pawai obor yang ditingkahi dengan riuh bunyi kentongan dan benda-benda bersuara nyaring lainnya. Ritual ini dilakukan di masing-masing rumah dengan meneriakkan “Magedi kala, kelod kaku laku!” (Pergilah wahai roh-roh, pergilah ke tempatmu). Setelah itu, penduduk bergabung dan melakukan pawai keliling desa.
Belakangan, anak-anak muda kreatif memvisualkan Bhuta Kala itu dalam bentuk ogoh-ogoh (boneka besar) berwajah seram. Sosok yang dibuat dari anyaman bambu dan kertas tersebut diarak keliling desa lalu dibakar di alun-alun desa. Hingga kini tak jelas di desa mana mula-mula ogoh-ogoh tersebut dibuat. Yang pasti, kreativitas tersebut menjalar cepat ke seluruh Bali dan hingga kini menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari ritual menjelang Hari Nyepi.
Sebagaimana gerak kreativitas, sosok ogoh-ogoh mengalami perkembangan terus menerus. Bermula dari kejemuan anak-anak muda membuat ogoh-ogoh yang begitu-begitu saja, yakni sosok bhuta kala sebagaimana layaknya sosok patung-patung Bali, mereka membuat sosok ogoh-ogoh yang unik. Maka lahirlah ogoh-ogoh berbentuk rudal scud saat perang Irak ramai berkecamuk, muncul pula ogoh-ogoh pemuda gondrong mengendarai Harley Davidson sambil memegang minuman keras, lalu ada ogoh-ogoh cewek café, penyanyi dangdut Inul Daratista, terpidana mati pelaku bom Bali Amrozi, dan banyak lagi.
Semakin lama, ogoh-ogoh sebagai simbol bhuta kala pun mulai bergeser pula. Di beberapa tempat masyarakat memaknai ogoh-ogoh sebagai simbol bumi (alam) yang harus diselaraskan dengan kehidupan manusia. Karena itu, ogoh-ogoh mereka tidak berwajah seram melainkan mengambil tokoh pahlawan dalam epos Mahabharata dan Ramayana, atau cerita purana lainnya. Maka lahirlah ogoh-ogoh Hanuman yang tengah bertempur melawan naga.
Dari pandangan lain, seluruh rangkaian upacara menjelang Hari Nyepi, termasuk arak-arakan ogoh-ogoh adalah bentuk ekspresi batin orang Bali untuk me-nyomya (menetralisir) sifat-sifat bhuta kala dalam diri mereka sendiri. Karena itulah, setelah menetralisir sifat jahat dalam diri, keesokan harinya mereka melakukan hening selama 24 jam penuh untuk kemudian terlahir kembali sebagai manusia baru. Hal inilah yang membuat orang Bali tak pernah merasa ogah untuk membuat ogoh-ogoh, meskipun karena berbagai alasan, arak-arakan ogoh-ogoh ini sempat dilarang oleh Pemerintah.