Senin, 20 September 2010

Legong Keraton, Bermula dari Meditasi Raja Sukawati

Oleh : Agung Bawantara

Ini sebuah catatan menarik mengenai asal-muasal tari Legong. Saya temukan pada sebuah katalog festival pelegongan yang diselenggarakan di Denpasar, Mengwi, dan Peliatan pada 1995. Catatan itu dibuat oleh Prof. Dr. I Made Bandem, Sekretaris Yayasan Walter Spies yang menyelenggarakan acara tersebut. Dalam catatan tersebut Prof. Bandem mengutarakan bahwa lahirnya Legong bermula dari hasil pertapaan Raja Sukawati, I Dewa Agung Made Karna. Kisah tersebut tercatat dalam Babad Dalem Sukawati yang disurat sekitar awal abad ke-19. Saat itu wilayah Sukawati, Gianyar, memang sudah masyur sebagai daerah yang memiliki penari-penari yang sangat handal.

Menurut babad tersebut, suatu hari I Dewa Agung Made Karna yang dikenal memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, melakukan pertapaan di Pura Yogan Agung di desa Ketewel, dekat Sukawati. Pada saat itu hadirlah dalam ciptanya beberapa sosok bidadari-bidadari melayang di angkasa. Para bidadari yang cantik jelita itu memperagakan tarian yang sangat menakjubkan. Mereka berbusana penuh warna. Kepala mereka bergelung tatahan emas penuh manikam yang cerlang-cemerlang.

Begitulah, saat bangkit dari tapanya, sang raja memerintahkan penguasa desa Ketewel untuk mengumpulkan para seniman di sana dan meminta mereka membuat beberapa topeng sekaligus menciptakan tarian berdasarkan penglihatan (cipta) sang raja.

Beberapa bulan kemudian, lahirlah sembilan topeng sebagai wujud sembilan bidadari dalam mitologi Hindu. Dua penari Sanghyang kemudian diperintahkan untuk menarikan topeng tersebut. Penari Sanghyang adalah penari-penari muda pilihan yang tidak hanya berbakat melenggokkan tubuh, melainkan juga memiliki kepekaan untuk trance, dan belum menstruasi. Tari topeng yang dipertunjukkan oleh kedua penari Sanghyang itu dinamakan dengan Sang Hyang Legong. Tarian ini –dengan topeng aslinya— hingga kini masih digelar di Pura Yogan Agung setiap upacara Piodalan yang diselenggarakan setiap 210 hari sekali di pura tersebut.

Terinspirasi oleh Sanghyang Legong, tak berapa lama kemudian sebuah kelompok tari dari Blahbatuh yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik melahirkan sebuah tarian baru dalam gaya yang serupa. Bedanya, semua penarinya adalah laki-laki dan tidak mengenakan topeng. Tarian ini dinamakan dengan Nandir.

Dalam sebuah acara, Raja Sukawati menyaksikan pertunjukan Nandir, dan amat terkesan. Beliau kemudian memerintahkan punggawanya untuk mengumpulkan para seniman di Sukawati untuk membuta tarian serupa untuk para gadis muda di istananya. Hasilnya adalah tarian Legong yang kita kenal sekarang.

Rupanya, pesona para penari Legong jauh lebih memukau daripada penari Nandir. Maka lambat laun Nandir pun menghilang dan punah. Penari Nandir terakhir adalah I Wayan Rindi dari Denpasar telah meninggal pada tahun 1976.

Pada pertengahan 1930-an hingga 1960-an beberapa tarian tunggal baru muncul. Tarian-tarian tersebut antara lain Panji Semirang dan Margapati. Karena kekurangan terminologi, tarian-tarian tersebut pun disebut Legong. Untuk membedakannya, legong yang asli diberi nama Legong Kraton.

Beberapa Komposisi Legong

  • Pelayon – tidak memiliki cerita khusus, abstrak
  • Lasem – mengisahkan kegemulaian Putri Rangesari
  • Kuntir – mengisahkan pertarungan dua kakak-beradik memperebutkan seorang perempuan jelita
  • Jobog – menisahkan Subali dan Sugriwa yang memperebutkan Cupu manic Astagina
  • Kuntul – menisahkan tarian dua ekor burung Kuntul
  • Prabangsa – merupakan fragmentasi kisah Calon Arang
  • Legod Bawa – mengisahkan Dewa Wisnu dan Dewa Indra beradu kekuartan dengan Dewa Siwa. Tarian ini menggunakan topeng beruang dan garuda.
  • Kupu-kupu Tarum – mengisahkan sepasang kupu-kupu bercengkerama di taman
  • Candra Kanta – mengisahkan keharmonisan antara rembulan dan matahari
  • Semaradhana – mengisahkan Dewa Siwa yang tengah melakukan yoga Samadhi
  • Goak Macok – mengisahkan dua ekor gagak yang tengah berburu telur ayam kampung
  • Bapang – abstrak
  • Durga abstrak
  • Sudarsana – termasuk cerita Calonarang
  • Raja Cina* – mengisahkan percintaan sepasang kekasih
  • Bramara* – mengisahkan percintaan sepasang kumbang
  • Calonarang* – Cuplikan kisah Calonarang
  • Gadung Melati* – menggambarkan kemolekan bunga-bunga di taman
Catatan:
Komposisi tari yang bertanda * adalah komposisi yang hingga tahun 1995 belum direkonstruksi.

◄ Newer Post Older Post ►