Memahami masyarakat Desa Pegayaman sebaiknya dimulai dengan menyaksikan perayaan Maulid Nabi di kampung itu. Perayaan maulid di sana merupakan pesta budaya. Sepekan penuh masyarakat di sana bergembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dimulai dengan membuat tape, membuat jaje uli (penganan dari ketan), lalu mempersiapkan sokok base dan sokok taluh, mengarak sokok dan pawai keliling desa, dilanjutkan dengan pegelaran pencak silat setiap sore.
Perayaan Maulid di Pegayaman di awali dengan Muludan Base (Maulid Sirih) pada 12 Rabiul Awal, tepat hari kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan ini dilakukan dengan membuat sokok base, yaitu rangkaian dauh sirih, kembang, dan buah-buahan.
Kata sokok diduga berasal dari Bahasa Jawa, soko, yang berarti tiang. Memang rangkaian ini terdiri dari tiang utama yang terbuat dari batang pisang yang didirikan di atas sebuah dulang. Pada tiang tersebut ditancapkan beberapa batang bilah bambu. Pada bilah bambu itulah sirih, kembang, dan buah-buahan dirangkai. Sokok base sangat mirip dengan pajegan yang dibuat masyarakat Hindu di Bali saat berupacara di pura pada hari-hari tertentu.
Puluhan sokok base yang dibuat masyarakat itu dibawa ke masjid, dideretkan di tengah-tengah lingkaran orang yang akan membacakan barzanji (karya sastra Arab klasik yang berisi riwayat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad).
Usai membaca barzanji, rangkaian sokok base dibongkar. Kembang dan daun sirih dibawa pulang, diletakkan di dinding rumah atau di sawah. Konon rangkaian daun sirih dan kembang bekas sokok base itu dapat mendatangkan berkah untuk rumah atau sawah.
Pada hari kedua, Desa Pegayaman benar-benar berada dalam pesta besar. Seluruh masyarakat sibuk dengan kegiatan maulid itu. Laki-perempuan, besar-kecil bersuka ria dalam perayaan yang mereka sebut dengan Muludan Taluh (Maulid Telur). Pada hari itu puluhan sokok taluh, yaitu rangkaian serupa sokok base namun dilengkapi dengan telur, diusung ke masjid. Di sepanjang jalan, masyarakat berjejal menyaksikan iring-iringan sokok keliling desa. Iring-iringan itu dimeriahkan oleh tabuhan rebana dari sekehe (kelompok) Hadrah yang begitu meriah. Tabuhan burde (sebangsa rebana besar yang terbuat dari bungkil pokok pohon kelapa) yang ditabuh sejak pagi hingga sore, membuat suasana perayaan semakin gempita.
Ketut Syahruardi Abbas (50), putra Pegayaman yang kini menetap di Denpasar dan berprofesi sebagai penulis, sangat bangga dengan tradisi ini. "Dalam konteks kebudayaan dan ibadah ini, tradisi ini pantas diacungi jempol. Pendiri desa Pegayaman mampu memasukkan berbagai unsur kebudayaan tanpa mengingkari esensi keberagamaan,” ucapnya.
Menurut Abbas, yang pernah memimpin berbagai media di Bali, masyarakat Pegayaman sama sekali tidak merasa risih mengarak sokok base dengan mengenakan pakaian khas Bali. Bagi mereka perayaan ini hanyalah sebuah ekspresi budaya. Ini sangat berbeda dengan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Pada kedua hari raya itu masyarakat Pegayaman, hanya datang ke Masjid menyelenggarakan shalat Ied, sama dengan masyarakat Muslim lainnya. Memang mereka menambahkan rangkaian hari-hari menjelang hari-H, yakni penapean (hari membuat tape pada hari H-3), penyajaan (hari membuat jajan pada hari H-2), penampahan (hari memotong hewan pada hari H-1), dan manis lebaran (sehari setelah hari H), sama seperti yang dilakukan umat Hindu menjelang hari Galungan. ”Tapi, semua itu sama sekali tidak masuk ke masjid, tidak merupakan bentuk ibadah,” tandas Abbas.