Jika anda datang ke ‘sanggar kerja’ milik mereka, anda akan menyaksikan bagaimana kedua mpu keris muda tersebut membenamkan besi dalam bara api lalu menempanya menjadi bentuk yang diinginkan. Di situ anda dapat membayangkan bagaimana mpu keris pada zaman kerajaan dahulu melakukan pekerjaannya. Betapa tidak, Suardika dan Saputra menjalankan proses pembuatan kerisnya persis seperti apa yang dituliskan dalam lontar-lontar kuno. Untuk membuat sebilah keris pusaka, mereka menghabiskan waktu sedikitnya enam bulan, karena harus menentukan hari baik dan beberapa syarat lainnya.
Tentang terjunnya kakak-beradik itu ke dunia ke-mpu-an, cukup unik. Prosesnya berawal dari dari diabaikannya permintaan untuk meneruskan tradisi leluhur sebagai pembuat keris oleh kepada sang ayah, I Ketut Suwandi. Mendadak kedua anak muda itu, Suardika dan Saputra, sakit keras. Sejumlah dokter tak mampu mengatasinya. Lalu datang petunjuk gaib melalui medium yang memerintahkan Suwandi, untuk bersedia menjadi pembuat keris. Begitu ia bersedia, kedua anaknya pun sembuh dalam jangka yang tak begitu lama. Sejak saat itu, selain Suwandi, Suardika dan Saputra pun turut tekun menjadi pembuat keris pusaka.
Bukan Gandring, tapi Gandrung
Tentang keris, Suwandi dan kedua anaknya berkisah bahwa senjata tersebut merupakan senjata yang sangat akrab dengan masyarakat Bali. Selain sebagai pusaka, senjata penusuk jarak dekat ini kerap digunakan oleh masyarakat di Pulau Dewata ini dalam berbagai kegiatan upacara agama maupun adat. Meski begitu, keberadaan mpu pembuat keris di Bali saat ini terbilang sangat langka. Di seantero Bali, jumlahnya bisa dihitung hanya dengan jari sebelah tangan saja.
Sejatinya, keris bukan hanya milik orang Bali. Ia juga merupakan senjata adat suku-suku bangsa di Nusantara dan suku-suku bangsa di Malaysia, Brunei Darussalam, Sabah, Thailand, Kamboja, Laos, dan Filipina Selatan.
Di Nusantara sendiri, banyak cerita heboh berkaitan dengan jejak keberadaan keris dari masa ke masa. Satu di antaranya, yang tergambar dalam kitab Pararaton, tentang keris buatan Mpu Gandring yang mendudukkan seorang jelata bernama Ken Arok menjadi raja Tumapel menggantikan Akuwu Tunggul Ametung. Meski diwarnai kemelut berdarah, sejarah mencatat keris tersebut menjadikan keturunan Ken Arok sebagai raja-raja Jawa.
Mengenai hal ini, Suwandi tak ingin meniru jejak Sang Mpu sakti itu. Ia dan anak-anaknya memilih menjadi mpu gandrung. Gandrung berarti senang atau cinta.
“Biarlah keris-keris yang kami hasilkan menebarkan aura cinta dan menjadikan pemiliknya gandrung dengan kedamaian dan harmoni,” ucap Suwandi diamini kedua putranya.