Tradisi sejak 1970-an ini merupakan ritual yang elibatkan dua kelompok laki-laki bertelanjang dada. Masing-masing mempersenjatai diri mereka dengan sejumlah ketupat dan kue bantal nasi. Begitu perang dinyatakan mulai, kedua kelompok tersebut saling menyerang kubu lawan dengan melemparkan ketupat atau kue bantal itu ke arah “lawan”. Tidak ada aturan khusus terkait perang ketupat ini. Semua pemain bebas melempar ke arah mana pun di kubu lawan.
Bagi masyarakat desa Kapal tradisi ini dipercayai bisa mendatangkan kesejahteraan. Menurut Bendesa Adat Kapal Gde Dharmayasa, perang tipat merupakan simbol kemakmuran. ''Ritual ini juga sebagai bentuk rasa sukur kami terhadap kelimpahan yang sudah diberikan Tuhan pada kami," paparnya. Ia memaparkan bahwa saling lempar ketupat tersebut hanyalah bentuk ekspresi semata. Intinya, ketupat dan nasi tersebut dipersembahkan kepada Semesta Raya. Setelah itu, dinikmati bersama-sama oleh masyarakat.
Jika tak menjalankan tradisi ini, kami khawatir sawah-sawah akan mengalami paceklik," imbuh Dharmayasa. (abe/jjb)
Foto: repro Miftahuddin- Radar Bali