Karena jumlahnya di atas jumlah yang perkirakan, maka waktu pemutaran karya-karya tersebut di PKB pun menjadi berubah. Waktu penayangan yang disediakan hanya dua jam dalam setiap kali pemutaran, diperpanjang menjadi tiga jam.
Tingginya animo para pembuat film dokumenter untuk menyertakan karyanya dalam festival ini kemungkinan besar disebabkan oleh terlibatnya nama-nama penting dalam perfilman dokumenter menjadi juri. Mereka adalah Dr. Lawrence Blair, Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, Prof. Dr. I Wayan Dibia, dan Hadiartomo.
Dr. Lawrence Blair adalah antropolog yang menggeluti film dokumenter sejak awal 1970-an. Dialah salah satu orang yang banyak memperkenalkan Bali dan Indonesia ke seluruh dunia. Karya pentingnya adalah ‘Ring of Fire’. Film ini meraih Emmy Award, sebuah penghargaan bergengsi di dunia pertelevisian sebagai film dokumenter terbaik. Pada tahun 1989, film ini juga memenangi National Educational Film and Video Festival Silver Apple Awards.
Karya-karya Lawrence yang lain adalah Beyond the Ring of Fire, Seas, Snakes, Myths, Magic & Monsters, Bali Island of The Dogs.
Rio Helmi adalah fotografer kondang. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah National Geographic. Di dunia fotografi Indonesia dia dikenal sebagai “ the living legend”. Rio mulai bekerja sebagai fotografer profesional semenjak tahun 1978. Ia pernah bekerja sebagai wartawan foto dan penulis pada Sunday Bali Post, Mutiara, dan Tempo. Sebagian besar liputan tersebut berkisar tentang masyarakat terasing yang mulai bersentuhan dengan dunia modern.
Rio beberapa kali terlibat dalam beberapa produksi film documenter. Satu di antaranya adalah Lempad of Bali. Sejak 1983 hingga kini Rio bekerja sebagai freelance untuk berbagai majalah regional membuat reportase dan foto di berbagai negara seperti Brunei, Malaysia, Singapore, Thailand, Filipina, India, Mongolia, Cambodia.
Prof. Dr. I Wayan Dibia adalah budayawan dan guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Kelahiran Singapadu tahun 1948 ini adalah budayawan yang telah mahir menari dan menabuh sejak ia berusia sepuluh tahun. Setelah menamatkan studi di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar pada tahun 1973, ia melanjutkan kuliahnya di ASTI Yogyakarta di mana ia meraih gelar sarjananya. Tahun 1984 Dibia mendapat gelar Master of Art dari Universitas California of Los Angeles. Tahun 1992, di universitas yang sama, Dibia dikukuhkan sebagai Doktor setelah sukses mempertahankan disertasi yang berjudul Arja a Sung Dance Drama of Bali: a Study of Change and Transformation.
Prof. Dibia dikenal sangat intens mengamati dan memberi sumbangan pemikiran untuk pengembangan budaya Bali (Indonesia).
Slamet Rahardjo Djarot adalah seorang aktor senior Indonesia. Ia memulai debutnya pada tahun 1968 di bawah arahan Sutradara Teguh Karya. Keterlibatan Slamet dalam film baik sebagai actor maupun sebagai sutradara antara lain pada film: Ranjang Pengantin (1974), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Rembulan dan Matahari (1980), Seputih Hatinya Semerah Bibirnya(1982), Ponirah Terpidana (1983), Kembang Kertas (1985), Kodrat (1986), Kasmaran (1987), Tjoet Nja' Dhien (1988), Langitku Rumahku (1990), Fatamorgana (1992), Anak Hilang (1993), Telegram (2000), Pasir Berbisik (2001), Putri Gunung Ledang (2004), Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007), Namaku Dick (2008), Laskar Pelangi (2008), Cinta Setaman (2008), dan Sang Pencerah (2010).
Penghargaan yang diperoleh Slamet antara lain: Piala Citra sebagai Aktor Terbaik dalam film Ranjang Pengantin (1974) dan Badai Pasti Berlalu (1977); Piala Citra sebagai film terbaik untuk karyanya yang berjudul Rembulan dan Matahari (1980).
Hadiartomo, Pengajar Fakultas Film dan Televisi Istitut Kesenian Jakarta. Ia adalah alumni Akademi Senimatografi-LPKJ (1977) yang kemudian memperoleh gelar sarjana dari alma mater yang sama yang sudah beralih status menjadi Institut Kesenian Jakarta. Pertama kali terjun ke dunia film dengan menjadi juru kamera dalam film “Kejamnya Ibu Tiri, Tak Sekejam Ibu Kota” (1981). Belakangan, ia juga menjadi juru suara. Saat menjadi juru suara di film “Naga Bonar” (1986), ia menyabet Piala Citra pada FFI 1987 sebagai Penata Suara Terbaik. Film Dokumenternya “Lereng Tambora” meraih Piala Vidya pada FFI 1991. Selain sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta, dia juga mengajar di Kursus Sinematografi yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta.
Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011 merupakan salah satu mata acara unggulan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33.