Protes umat muslim Libya terhadap film yang menghina Nabi Muhammad telah memakan korban jiwa. Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya, Christopher Stevens, dan tiga stafnya tewas akibat serangan roket di Kota Benghazi.
Menyusul insiden itu, YouTube pada Rabu kemarin mengumumkan pihaknya telah membatasi akses ke video kontroversial yang diduga memicu insiden kekerasan di Libya, juga protes di Mesir.
Film trailer berdurasi 14 menit, berkualitas gambar rendah, yang mengejek keyakinan muslim itu, tidak akan bisa diakses via YouTube di Libya dan Mesir, demikian pernyataan situs media sharing itu kepada CNN.
"Kami bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang bisa dinikmati semua orang, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat yang berbeda," demikian pernyataan YouTube. "Ini bisa menjadi tantangan berat, sebab, apa yang dianggap oke di suatu negara, bisa ofensif di negara lain."
YouTube menambahkan, video tersebut, yang secara luas menyebar di dunia maya, dianggap masih sesuai dengan pedoman, dan akan tetap ada di situs YouTube. "Namun, melihat situasi yang sangat sulit di Libya dan Mesir, kami membatasi sementara akses di dua negara tersebut," kata dia.
YouTube menyesalkan korban nyawa yang jatuh dan menimpa orang-orang yang sejatinya tak ada kaitannya dengan film tersebut. "Hati kami menyertai keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih yang terbunuh dalam serangan di Libya."
Sebelum akhirnya YouTube bertindak, Afganistan telah menutup akses ke YouTube sebagai respon atas video penghinaan terhadap nabi itu.
"Kami telah diperintahkan untuk menutup YouTube bagi penduduk Afghan sampai video itu dihapus," kata Amal Marjan, dari Kementerian Informasi dan Teknologi kepada Reuters. Kontroversi
Kejadian terbaru ini kembali memunculkan pertanyaan yang selalu muncul di era saat ini, di mana internet memainkan peran besar sebagai media komunikasi. Apakah situs yang menampilkan konten dari luar (user-generated content) bisa menghilangkan material yang bisa memicu kemarahan?
Debat ini sudah beberapa kali terjadi. Salah satunya, sekelompok orang murka dan protes saat Facebook memutuskan untuk tidak menarik laman dukungan pada pelaku penembakan brutal di bioskop Colorado. Kritikan yang sama diarahkan pada YouTube karena tidak menarik video yang menunjukkan kebrutalan polisi dan kekerasan lain.
Dalam pedomannya, YouTube secara tegas melarang pornografi, kekerasan, dan meminta orang-orang yang mengunggah video menghormati hak cipta.
Menjadi subyak dari kontroversi, YouTube menegaskan, "kami mendukung kebebasan bicara, dan menjaga hak seseorang untuk mengekspresikan pandangannya, meski itu tak populer. Namun, kami tak mengizinkan ungkapan kebencian (pidato yang menyerang atau merendahkan sebuah kelompok berdasarkan ras, etnis, agama, disabilitas, jenis kelamin, usia, status veteran, dan orientasi seksual atau identitas gender)."
Sementara, Jillian York, direktur Electronic Frontier Foundation yang mengkampanyekan kebebasan berekspresi mengusulkan, YouTube tak perlu menghapus sebuah video kontroversi untuk semua negara, namun sebaiknya mempertimbangkan memblokirnya di negara yang spesifik, di mana video tersebut memicu atau berpotensi memicu kekerasan.
Menyusul insiden itu, YouTube pada Rabu kemarin mengumumkan pihaknya telah membatasi akses ke video kontroversial yang diduga memicu insiden kekerasan di Libya, juga protes di Mesir.
Film trailer berdurasi 14 menit, berkualitas gambar rendah, yang mengejek keyakinan muslim itu, tidak akan bisa diakses via YouTube di Libya dan Mesir, demikian pernyataan situs media sharing itu kepada CNN.
"Kami bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang bisa dinikmati semua orang, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat yang berbeda," demikian pernyataan YouTube. "Ini bisa menjadi tantangan berat, sebab, apa yang dianggap oke di suatu negara, bisa ofensif di negara lain."
YouTube menambahkan, video tersebut, yang secara luas menyebar di dunia maya, dianggap masih sesuai dengan pedoman, dan akan tetap ada di situs YouTube. "Namun, melihat situasi yang sangat sulit di Libya dan Mesir, kami membatasi sementara akses di dua negara tersebut," kata dia.
YouTube menyesalkan korban nyawa yang jatuh dan menimpa orang-orang yang sejatinya tak ada kaitannya dengan film tersebut. "Hati kami menyertai keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih yang terbunuh dalam serangan di Libya."
Sebelum akhirnya YouTube bertindak, Afganistan telah menutup akses ke YouTube sebagai respon atas video penghinaan terhadap nabi itu.
"Kami telah diperintahkan untuk menutup YouTube bagi penduduk Afghan sampai video itu dihapus," kata Amal Marjan, dari Kementerian Informasi dan Teknologi kepada Reuters. Kontroversi
Kejadian terbaru ini kembali memunculkan pertanyaan yang selalu muncul di era saat ini, di mana internet memainkan peran besar sebagai media komunikasi. Apakah situs yang menampilkan konten dari luar (user-generated content) bisa menghilangkan material yang bisa memicu kemarahan?
Debat ini sudah beberapa kali terjadi. Salah satunya, sekelompok orang murka dan protes saat Facebook memutuskan untuk tidak menarik laman dukungan pada pelaku penembakan brutal di bioskop Colorado. Kritikan yang sama diarahkan pada YouTube karena tidak menarik video yang menunjukkan kebrutalan polisi dan kekerasan lain.
Dalam pedomannya, YouTube secara tegas melarang pornografi, kekerasan, dan meminta orang-orang yang mengunggah video menghormati hak cipta.
Menjadi subyak dari kontroversi, YouTube menegaskan, "kami mendukung kebebasan bicara, dan menjaga hak seseorang untuk mengekspresikan pandangannya, meski itu tak populer. Namun, kami tak mengizinkan ungkapan kebencian (pidato yang menyerang atau merendahkan sebuah kelompok berdasarkan ras, etnis, agama, disabilitas, jenis kelamin, usia, status veteran, dan orientasi seksual atau identitas gender)."
Sementara, Jillian York, direktur Electronic Frontier Foundation yang mengkampanyekan kebebasan berekspresi mengusulkan, YouTube tak perlu menghapus sebuah video kontroversi untuk semua negara, namun sebaiknya mempertimbangkan memblokirnya di negara yang spesifik, di mana video tersebut memicu atau berpotensi memicu kekerasan.