Kekurangan fisik tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengekspresikan diri lewat kesenian. Kelompok yang dimotori Ni Putu Suriati itu tampil memukau lewat persembahan seni drama gong bertajuk 'Diah Larasati'.
Dengan penuh percaya diri, para penyandang tunadaksa tersebut melakonkan kisah perjuangan mereka untuk menuntut ilmu di sekolah formal. Mereka tampil ditopang dengan alat bantu sesuai dengan kecacatan mereka. Ada yang tampil dengan bantuan kursi, ada pula yang dengan tongkat penyangga.
Dengan segala keterbatasan fisik mereka mengekspresikan setiap lakon secara baik. Setiap karakter mereka mainkan dengan sangat natural. Hal itu disebabkan karena kisah yang mereka perankan tersebut diangkat dari pengalaman keseharian mereka sendiri. Di sinilah letak kelebihan Putu Suriati dan kawan-kawan. Mereka tak memilih cerita yang muluk-muluk, melainkan cerita yang mereka kenal dan mereka hayati dengan baik.
Dalam cerita tersebut, Diah Larasati (diperankan oleh Sang Ayu Nyoman Puspa) melambungkan impiannya untuk menuntut ilmu di sekolah formal. Namun impian tersebut dihalangi oleh ibunya, Permaisuri Dinarwati (diperankan oleh Dewa Ayu Sasih). Alasan Sang Ibu, Diah Larasati adalah seorang anak yang cacat. Mendapati hambatan tersebut, putri Kerajaan Nangun Cipta itu sempat larut dalam kesedihan yang dalam. Namun, semangatnya yang besar membuat dia mendorong dia untuk tak terbenam dalam kesedihan dan keputusasaan. Dengan tekad yang teguh Diah Larasati memberontaki keadaan itu. Dia melarikan diri dari istana untuk meraih impiannya di Sekolah Senang Hati…
Selain drama gong 'Diah Larasati', siang itu Yayasan Senang Hati juga menampilkan Janger, sebuah seni pergaulan yang didukung sepuluh penari Janger (perempuan) dan delapan penari Kecak (laki-laki). Seluruh persembahan tersebut diiringi gamelan gong kebyar yang sebagian penabuhnya juga penyandang cacat. (abe/jjb)
Foto-foto: I Nyoman Wija - Radar Bali