Rabu, 24 Juni 2009

Utsawa Dharma Gita, Olah Vokal Plus Keimanan

Dalam setiap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, acara Utsawa Dharma Gita tak pernah ketinggalan untuk diadakan. Utsawa Dharma Gita merupakan lomba pembacaan sloka-sloka yang diambil dari kitab-kitab Hindu. Utsawa Dharma Gita pertama kali dilaksanakan di Denpasar, pada 1978. Pembacaan sloka-sloka tersebut bukan asal membaca, melainkan melagukannya dengan tembang-tembang Bali yang pas.

Mengenai tembang, di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni suara vokal ini menjadi empat kelompok yaitu Sekar Rare yang meliputi berbagai jenis lagu anak-anak yang bernuansa permainan; Sekar Alit atau tembang macapat yang menyakup jenis-jenis tembang yang diikat oleh hukum padalingsa (jumlah baris dan jumlah suku kata); Sekar Madya atau kekidungan yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan; dan Sekar Agung yang meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru-lagu (suara panjang-pendek).

Jika Sekar Rare dan Sekar Alit lebih banyak dinyanyikan untuk aktivitas pertunjukan, Sekar Madya dan Sekar Agung pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama.

Sekar Rare
Tembang ini umumnya memakai bahasa Bali lumrah, bersifat dinamis dan gembira yang dalam melakukannya disertai dolanan (permainan). Kelompok tembang ini juga menyakup gegendingan (lagu-lagu rakyat) yang sederhana. Beberapa contoh jenis tembang ini antara lain: Meong-meong, Juru Pencar, Ongkek-ongkek Ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, dan Pul Sinoge. Bait-bait jenis tembang ini ada yang seluruhnya merupakan isi dan ada pula yang sebagian merupakan sampiran.


Sekar Alit
Tembang Sekar Alit dikenal juga dengan tembang macapat, geguritan, atau pupuh, sangat diikat oleh hukum padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru Wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran pada guru wilang ini, maka kesalahan ini disebut elung. Sedangkan guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf (vokal) pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang.

Istilah macapat sesungguhnya sebuah istilah dari bahasa Jawa yang berarti sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan). Jenis-jenis tembang macepat yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat adalah Pupuh Sinom, Pupuh Ginada , Pupuh Durma , Pupuh Dangdang , Pupuh Pangkur, Pupuh Ginanti, Pupuh Semaradana, Pupuh Pucung, Pupuh Mas Kumambang , Pupuh Mijil, Pupuh Megatruh, Pupuh Gambuh, Pupuh Demung, Pupuh Adri.

Masing-masing pupuh mempunyai ekspresi kejiwaan yang berbeda-beda. Untuk ekspresi aman, tenang, atau tenteram, dipergunakan pupuh-pupuh sinom, lawe, pucung, mijil, dan sinada candrawati; untuk membangun suasana gembira, roman, serta meriah dipergunakan pupuh seperti sinom lumrah, sinom genjek, sinom lawe, ginada basur, dan adi megatruh; untuk suasana sedih, kecewa, atau tertekan digunakan pupuh seperti sinom lumrah, sinom wug payangan, semaradana, ginada eman-eman, mas kumambang, dan demung; sedangkan untuk suasana marah, dan tegang dipergunakan pupuh durma dan sinom lumrah.

Sekalipun telah memiliki ekspresi tersendiri, namun cara melagukan dapat pula mengubah ekspresi yang ada pada pupuh tersebut.

Sekar Madya
Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa Tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan dalam lontar cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat dengan guru lagu maupun padalingsa. Yang ada adalah pembagian-pembagian seperti Pangawit (Pembuka), Pamawak (bagian yang pendek), Panawa (bagian yang panjang, dan Pangawak (bagian utama dari tembang).

Tembang-tembang yang tergolong ke dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa pada sekitar abad XVI sampai abad XIX, akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panawa, dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali. Di Bali kidung-kidung selalu dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam Pegambangan, mempergunakan laras pelog (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pamero/tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah lagu sangat banyak digunakan.

Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain: Aji Kembang, Kaki Tua, Sidapaksa, Ranggadoja, Rangga Lawe, Pamancangah, Wargasari, Pararaton, Dewaruci, Sudamala, Alis-alis Ijo, Bramara Sangut Pati, Caruk, Bhuksah.

Selain Kidung, ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi: Mayura, Jayendria, Manjangan Sluwang, Silih Asih, Sih Tan Pegat.

Sekar Agung
Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Ageng ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dan bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi matra penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian distilisasikan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan sendiri. Dapat diduga bahwa Kakawin ini diciptakan (dikomposisikan) di Jawa dari abad IX sampai XVI. Kakawin ini sangat diikat oleh hukum guru lagu. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian seperti Pangawit (penyemak) yang artinya pembukaan, Panampi (pangisep), Pangumbang dan Pamalet.

Kakawin biasanya dimainkan dalam aktivitas Mabasan (pesantian) di mana Kakawin dilagukan dengan diselingi terjemahannya. Masyarakat Bali mengenal banyak kekawin seperti: Aswalalita, Watapatia, Wangeasta, Prtiwitala, Wasantatilaka, Sardulawikradita, Wirat, Girisa, Puspitagra, Tanukerti, Cekarini, Saronca.

Di samping tembang-tembang di atas, masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berkembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:
1. Sasonggan: Kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa;
2. Bladbadan: Kalimat yang mengandung arti kiasan;
3. Wawangsalan: Kalimat bersajak;
4. Sasawangan: Kalimat perbandingan;
5. Papindaan: Kalimat perbandingan;
6. Tandak: Kalimat yang dilagukan, melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya;
7. Panggalang: Tembang Pendahuluan;
8. Sasendon: Semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama.

Untuk dapat menyanyikan tembang-tembang di atas dengan baik, seorang penembang harus memiliki: suara bagus dan tahu mengolahnya, nafas panjang serta tahu mengaturnya, mengerti masalah laras (slendro dan pelog), mengerti tetabuhan dan menguasai prihal matra, tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang, dan memahami seni sastra. (sda/jjb/ berdasarkan tulisan Prof. Dr. I Wayan Dibia)

◄ Newer Post Older Post ►