Garam adalah bumbu pelengkap untuk membuat berbagai jenis masakan menjadi lezat. Hampir seluruh jenis makanan khas Bali tak lepas dari garam. Di Bali, garam diproduksi secara tradisional di ladang-ladang garam yang terhampar di bibir-bibir pantai.
Secara tradisional, proses pembuatan garam di Bali sangat sederhana. Mula-mula petani garam menyiramkan air laut ke lading garam. Ladang garam adalah petak-petak yang dibuat di hamparan pasir di tepi pantai. Penyiraman air laut itu dilakukan pada pagi hari. Setelah terpanggang cahaya matahari sejak pagi hingga sore, pasir yang bercampur air laut itu akan membentuk gumpalan-gumpalan. Oleh petani garam, gumpalan pasir tersebut dikumpulkan lalu diletakkan pada bak yang tinggi, kemudian disiram lagi dengan air laut. Rembesan airnya ditampung dalam sebuah wadah, lalu disiramkan kembali ke dalam bak tadi.
Tampungan air rembesan yang kedua ditempatkan pada talang-talang yang terbuat dari pohon kelapa, aren atau pohon besar lainnya. Setelah beberapa lama, air itu akan mengristal menjadi garam. Garam tersebut lalu diambil dan ditiriskan dan siap untuk dijual. Pada cuaca baik, seluruh proses tersebut berlangsung selama lima hingga tujuh hari. Harga satu kilogram garam adalah Rp2 ribu.
Kini, dari jutaan penduduk Bali, hanya beberapa orang saja yang masih menjalani profesi petani garam. Ketimpangan antara kebutuhan hidup dan penghasilan membuat para petani garam beralih profesi…
Ladang-ladang garam di Bali pun menyusut jumlahnya. Kini, yang tersisa antara lain di pantai Amed, Tianyar (Karangasem), Pesinggahan (Klungkung), dan Suwung (Denpasar).
Foto-foto dalam tulisan ini adalah hasil jepreten I Made Widnyana Sudibia di ladang garam Tianyar.