Masyarakat di ketiga kawasan ini memang gemar menerbangkan layang-layang berukuran besar. Tak heran jika di dekat kawasan ini digelar parade atau lomba layang-layang, pesertanya selalu membludak. Parada layang-layang yang dinanti-nanti mereka adalah Bali Kite Festival (BKF) di pantai Padang Galak, Sanur, yang biasanya diselenggarakan pada bulan Juli.
Dalam festival tersebut, ketiga jenis layang-layang di atas selalu dilombakan, bahkan menempati porsi utama. Sedangkan kategori lain merupakan pelengkap untuk menambah daya tarik acara.
Di Bali layang-layang dibuat bukan untuk diadu, melainkan untuk dinikmati keindahan bentuk dan geraknya di udara. Para pecinta layang-layang Bali sangat peka terhadap bentuk dan proposi layang-layang. Setiap lekuk memancarkan kesan tersendiri bagi mereka. Sebuah layang-layang dengan bentuk dan proporsi yang tepat akan menimbulkan decak kagum berkepanjangan bagi mereka. Terlebih lagi jika layang-layang tersebut memiliki ukuran yang besar, ia terasa seperti sebuah karya seni yang bergengsi.
Soal warna, orang Bali hanya mengenal empat warna untuk layang-layang tradisional mereka yakni: hitam, merah, putih dan kuning. Bagi mereka, jika keempat warna tersebut ditata dengan tepat, maka saat terbang layang-layang tersebut akan tampak sangat anggun berlatarkan langit biru.
Selain bentuk dan warna, orang Bali menilai keindahan layang-layang dari keindahan liukannya. Mereka mengistilahkannya dengan elog. Layangan Be-bean, misalnya, tak dipandang oke jika tidak ngelog (meliuk) ke kiri-kanan seperti seorang penari. Namun begitu, elog yang berlebihan, dinilai kurang elok. Layang-layang macam begitu dinilai onyah (kurang anggun).
Berbeda dengan Be-bean, layang-layang jenis Janggan dan Pecuk justru akan memiliki nilai yang tinggi jika saat diterbangkan tetap stabil di posisinya. Pada layangan Janggan, yang dinikmati oleh meraka dalah gerakan ekornya yang bergelombang menyerupai gerakan air.
Jika tak sedang berlomba, seringkali sebuah layang-layang diterbangkan hingga ngambun yaitu menyelinap di balik awan. Biasanya ketinggian layang-layang yang ngambun tersebut sekitar 40 meter dari permukaan tanah.
Barangkali karena layang-layang berukuran besar, di mana saat menaikkannya harus mengerahkan 10 hingga 15 orang, maka begitu terbang mereka merasa sayang untuk segera menurunkannya. Mereka kerap membiarkan layang-layang mereka nginep alias bertahan di udara hingga berhari-hari lamanya. Hanya layang-layang yang benar-benar stabillah yang bisa di-inep-kan. Layang-layang yang demikian tidak langsung nyungsep ketika angin tak begitu kebcang di malam hingga pagi hari, dan tak goyah saat angin bertiup kencang di siang siang hari.
Menurut kepercayaan, banyaknya orang Bali gemar bermain layang-layang karena pengaruh vibrasi Dewa Rare Angon, Pelindung segala binatang peliharaan. Konon Sang Dewa sangat gemar bermain layang-layang. Pada bulan-bulan tertentu, ia mengatur agar cuaca selalu cerah dan angin berembus konstan untuk kegemarannya itu.