Begitu cakrabhawa berputar, arak-arakan pawai langsung dimulai, diawali dengan pementasan tarian kebesaran PKB, Siwa Nata Raja dengan iringan barungan Adi Merdangga mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.Gelaran itu kemudian disusul oleh arak-arakan kesenian dari seluruh kabupaten di Bali, dan peserta dari luar Bali termasuk para seniman asal Jepang.
Tema pawai kali ini tahapan hidup manusia Bali dari sejak dalam kandungan hingga kembali menghadap Sang Pencipta. Dengan gaya dan kekhasannya masing-masing, seluruh kabupaten di Bali menggambarkan fase-fase tersebut dalam atraksi yang menarik.
Secara keseluruhan, pawai budaya PKB kali ini berkesan lebih bersahaja dan egaliter. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, arak-arakan budaya kali ini tidak diisi dengan acara protokoler yang ketat dan membatasi gerak masyarakat.
"Ini (merupakan) perubahan konsep yang mendasar (dari tahun-tahun sebelumnya). Kami sengaja menyuguhkan pawai budaya ini untuk masyarakat, dan membuatnya akrab dengan masyarakat," ucap Drs. Made Adi Djaya, ketua panitia perhelatan seni tahunan kebagaan Bali ke-31 ini.
Memang terasa akrab. Sayangnya, perubahan konsep ini tak diiringi dengan lompatan imajinasi yang cukup oleh para peserta pawai. Sajian-sajian dalam arak-arakan tersebut nyaris sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Bagi masyarakat non Bali, sajian itu tampak seperti ritual tanpa jiwa.
Lalu, pengaturan jarak dan durasi atraksi dalam pawai yang kurang akurat membuat para pendukung pawai kelelahan. Mereka kemudian memborong air mineral lalu membuang kemasannya sembarangan di jalur pawai.
Catatan lain, jalur lintasan pawai tak mendapat "sentuhan" sama sekali. Umbul-umbul, spanduk dan baligo berbagai sponsor yang tak ada kaitannya dengan PKB berkibar bebas di sepanjang jalan Surapati-Hayaum Wuruk. Kabel-kabel listrik dan telepon yang melintang memotong jalan Hayam Wuruk juga sedikit menghambat perjalanan kendaraan hias peserta pawai yang berukuran tinggi.