Perang macam apa itu? Itulah tradisi Perang Pandan yang dalam bahasa setempat disebut Mekare-kare. Perang ini adalah atraksi khas masyarakat Tenganan, sebuah desa yang terletak di belahan timur Pulau Bali, sekitar 75 kilometer dari Kuta. Setiap tahun, tradisi perang pandan ini dilakukan selama dua hari, biasanya pada pertengahan bulan Juni.
Perang ini dilakukan oleh para pemuda Tenganan. Saat perang mereka mengenakan kain adat Tenganan dan bertelanjang dada. Senjata mereka adalah seikat daun pandan berduri dan sebuah perisai dari anyaman rotan untuk melindungi diri. Bagi masyarakat Tenganan yang dikenal sebagai masyarakat Bali Aga (Bali Asli), perang pandan bukanlah atraksi untuk mencari kalah-menang, melainkan merupakan bagian dari ritual pemujaan kepada Dewa Indra yang dipuja sebagai dewa perang. Sebelum perang digelar, acara diawali dengan dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan. Setelah perang usai, acara ditutup dengan persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tarian sakral yang disebut Rejang. Jadi, laga yang dilakukan hingga saling menggucurkan darah itu adalah bentuk penghormatan bagi Sang Dewa.
Pemujaan terhadap Dewa Indra ini bermula dari kepercayaan masyarakat bahwa berabad-abad silam wilayah Tenganan dicengkram oleh seorang penguasa yang kejam dan lalim bernama Maya Denawa. Raja bengis tersebut tidak hanya memperlakukan rakyat secara semena-mena, bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Ia memerintahkan begundalnya untuk membunuhi siapa pun yang berani melakukan ritual keagamaan.
Menyaksikan perilaku Maya Denawa itu, para dewa di surga pun murka. Selanjutnya mereka mengutus Dewa Indra untuk memimpin pertempuran melawan si raja lalim. Melalui pertempuran sengit, Maya Denawa dapat dilumpuhkan dan Dewa Indra lalu tampil sebagai penggantinya.
Jika ingin melihat dari dekat bagaimana perang pandan berlangsung, bersiaplah untuk hadir di Tenganan pada pertengahan bulan Juni mendatang.