Seorang pria berusia 50 tahun di Arab Saudi akhirnya sepakat menceraikan mempelai wanitanya yang berusia 9 tahun. Demikian laporan media-media di sana, Kamis (30/4), yang dilansir Reuters setelah pernikahan tersebut mengundang kecaman internasional.
Keputusan itu, yang dilaporkan oleh surat kabar Alwatan dan Al-Riyadh, dikeluarkan setelah beberapa bulan proses pengadilan, kecaman dari PBB, dan berita utama media internasional mengenai praktik hak asasi manusia di Arab Saudi.
"Ini adalah tindakan yang bagus dan saya kira pria tersebut melakukannya karena ia menghadapi banyak tekanan dari semua orang," kata Wajeha Al-Huaider, pendiri kelompok bagi hak asasi perempuan di Arab Saudi melalui telepon. Wajeha yang berkampanye buat anak-anak mengatakan, ia berharap tekanan yang digerakkan oleh kasus itu akhirnya akan mengarah pada terciptanya hukum yang melarang pernikahan di bawah umur.
Ibu anak perempuan tersebut, yang menentang pernikahan itu yang berlangsung ketika putrinya berusia 8 tahun, membawa kasus tersebut ke pengadilan tahun lalu.
Pengadilan di kota kecil Onaiza mengukuhkan pernikahan itu dengan syarat bahwa sang suami tak menggauli istrinya sampai anak perempuan tersebut mencapai masa puber.
Di dalam masyarakat patriarkal di Arab Saudi, yang menerapkan aliran Sunni, ayah memiliki hak untuk memutuskan dengan siapa putri mereka akan menikah. "Islam tak menetapkan usia bagi pernikahan. Akad nikah adalah satu hal dan pelaksanaan hidup rumah tangga adalah hal yang berbeda," kata Ahmed Al Modi, tokoh intelektual Islam dan penulis.
Dalam kasus mempelai perempuan di bawah umur di Onaiza, ia mengatakan, hakim tak dapat memerintahkan perceraian karena akad nikah dilakukan sejalan dengan peraturan perkawinan, yang meliputi persetujuan sang ayah.
"Ketika sang anak masih di bawah umur, ayahnya dapat menyetujui akad nikah, tapi setelah anak itu mencapai usia puber, ia dapat mengajukan keberatan atas pernikahan tersebut," kata Al Modi.
Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus seperti ini, sang anak biasanya tetap berada di bawah asuhan kedua orangtuanya dan suaminya dapat mengunjunginya. Namun, ia tak diperkenankan tinggal bersama anak perempuan itu atau melaksanakan kewajiban rumah tangga sampai anak perempuan tersebut mencapai masa puber.
Keputusan mengenai usia sah bagi pernikahan di Arab Saudi menjadi pembicaraan setelah seorang tokoh agama di negeri tersebut, Sheikh Mohsen al-Obaikan, mengatakan kepada satu surat kabar lokal bahwa anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun tak boleh diizinkan menikah.
Banyak tokoh agama di Arab Saudi, termasuk pemimpin ulama kerajaan itu, Imam Besar Sheikh Abdul-Aziz Ash-Sheikh, mengesahkan praktik pernikahan gadis muda. Kasus Onaiza mengundang kecaman internasional. "Terlepas dari keadaan atau kerangka kerja sah, pernikahan seorang anak di bawah umur adalah pelanggaran terhadap hak asasi anak," kata Kepala UNICEF Ann Veneman pada awal April.
Al Modi mengatakan, Arab Saudi tertinggal dalam masalah pernikahan anak di bawah umur. "Mesir menetapkan usia sah bagi pernikahan pada 1975, kini kita telah mulai tersadar," katanya. Ia menambahkan, negara Arab, seperti Jordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir sudah menetapkan usia sah bagi pernikahan. (tribun-timur.com)
Keputusan itu, yang dilaporkan oleh surat kabar Alwatan dan Al-Riyadh, dikeluarkan setelah beberapa bulan proses pengadilan, kecaman dari PBB, dan berita utama media internasional mengenai praktik hak asasi manusia di Arab Saudi.
"Ini adalah tindakan yang bagus dan saya kira pria tersebut melakukannya karena ia menghadapi banyak tekanan dari semua orang," kata Wajeha Al-Huaider, pendiri kelompok bagi hak asasi perempuan di Arab Saudi melalui telepon. Wajeha yang berkampanye buat anak-anak mengatakan, ia berharap tekanan yang digerakkan oleh kasus itu akhirnya akan mengarah pada terciptanya hukum yang melarang pernikahan di bawah umur.
Ibu anak perempuan tersebut, yang menentang pernikahan itu yang berlangsung ketika putrinya berusia 8 tahun, membawa kasus tersebut ke pengadilan tahun lalu.
Pengadilan di kota kecil Onaiza mengukuhkan pernikahan itu dengan syarat bahwa sang suami tak menggauli istrinya sampai anak perempuan tersebut mencapai masa puber.
Di dalam masyarakat patriarkal di Arab Saudi, yang menerapkan aliran Sunni, ayah memiliki hak untuk memutuskan dengan siapa putri mereka akan menikah. "Islam tak menetapkan usia bagi pernikahan. Akad nikah adalah satu hal dan pelaksanaan hidup rumah tangga adalah hal yang berbeda," kata Ahmed Al Modi, tokoh intelektual Islam dan penulis.
Dalam kasus mempelai perempuan di bawah umur di Onaiza, ia mengatakan, hakim tak dapat memerintahkan perceraian karena akad nikah dilakukan sejalan dengan peraturan perkawinan, yang meliputi persetujuan sang ayah.
"Ketika sang anak masih di bawah umur, ayahnya dapat menyetujui akad nikah, tapi setelah anak itu mencapai usia puber, ia dapat mengajukan keberatan atas pernikahan tersebut," kata Al Modi.
Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus seperti ini, sang anak biasanya tetap berada di bawah asuhan kedua orangtuanya dan suaminya dapat mengunjunginya. Namun, ia tak diperkenankan tinggal bersama anak perempuan itu atau melaksanakan kewajiban rumah tangga sampai anak perempuan tersebut mencapai masa puber.
Keputusan mengenai usia sah bagi pernikahan di Arab Saudi menjadi pembicaraan setelah seorang tokoh agama di negeri tersebut, Sheikh Mohsen al-Obaikan, mengatakan kepada satu surat kabar lokal bahwa anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun tak boleh diizinkan menikah.
Banyak tokoh agama di Arab Saudi, termasuk pemimpin ulama kerajaan itu, Imam Besar Sheikh Abdul-Aziz Ash-Sheikh, mengesahkan praktik pernikahan gadis muda. Kasus Onaiza mengundang kecaman internasional. "Terlepas dari keadaan atau kerangka kerja sah, pernikahan seorang anak di bawah umur adalah pelanggaran terhadap hak asasi anak," kata Kepala UNICEF Ann Veneman pada awal April.
Al Modi mengatakan, Arab Saudi tertinggal dalam masalah pernikahan anak di bawah umur. "Mesir menetapkan usia sah bagi pernikahan pada 1975, kini kita telah mulai tersadar," katanya. Ia menambahkan, negara Arab, seperti Jordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir sudah menetapkan usia sah bagi pernikahan. (tribun-timur.com)