Di satu pihak, Arif mendukung sikap Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Surabaya, Nur Sodik, yang tidak mengizinkan siswinya untuk mengikuti UN karena sedang hamil tujuh bulan. "Pihak sekolah itu sedang berusaha menegakkan aturan yang telah disepakati wali murid dan siswa itu sendiri," katanya.
Arif berpendapat, kalau siswi yang sedang hamil itu dibiarkan ikut UN, dikhawatirkan akan menimbulkan preseden buruk bagi dunia pendidikan. "Malah bisa-bisa nanti sekolah dianggap memperbolehkan siswinya hamil, apalagi kalau itu terjadi di luar nikah," katanya.
Namun di lain pihak, dia sangat menghormati hak siswi tersebut untuk bisa menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan mengikuti UN. "Memang sesuai aturan di sekolah tersebut, bagi siswi yang hamil diserahkan kepada orangtua atau wali muridnya. Tapi dia tetap berkeinginan untuk bisa lulus dari sekolah itu," kata Arif.
Pemkot Surabaya dalam waktu dekat ini akan memanggil pihak SMK Negeri 8 Surabaya dan keluarga siswi yang hamil itu untuk membicarakan persoalan tersebut. Sempat muncul wacana, siswi yang sedang hamil itu diikutkan program pendidikan Kelompok Belajar (Kejar) Paket C untuk bisa mendapatkan ijazah setingkat SLTA.
"Kemungkinan untuk diikutkan ujian Kejar Paket C memang bisa. Tapi perlu pembahasan lebih lanjut dengan pihak sekolah dan orangtua siswi yang bersangkutan," kata Arif Afandi. (kompas.com)