Kendati wilayahnya kecil, Klungkung melingkupi pula gugusan Pulau Nusa yang terdiri dari Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Mata pencaharian penduduk Klungkung sebagian besar bertumpu pada bidang pertanian. Sebelum bencana letusan Gunung Agung, daerah Gunaksa bahkan menjadi penghasil beras Bali terbaik bersanding dengan Tabanan.
Melihat dari luas wilayah Kabupaten Klungkung, sulit dipercaya bahwa Klungkung di masa lalu adalah pusat pemerintahan Bali. Bahkan, Bali dikendalikan dari Gelgel Klungkung ketika mencapai zaman keemasan raja Dalem Batur Enggong sekitar abad 15. Usai pemberontakan Gusti Patih Maruti barulah kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Klungkung pada masa pemerintahan Dalem Dimade.
Di masa awal Belanda masuk ke Bali, Klungkung sempat dipimpin oleh seorang raja perempuan yakni Tjokorda Istri Kania. Beliau menjadi wali raja karena ahli waris Dalem masih belia. Atas prakarsa Tjokorda Istri Kania lah di Klungkung dibuat kesepakatan paswara astha negara yang menyatukan semua raja-raja di Bali. Namun setelah Perang Jagaraga, Perang Buleleng, dan Perang Puputan Badung, tahun 1908 terjadi Perang Puputan Klungkung yang memastikan kekuasaan penuh penjajahan Belanda di Bali sekaligus memutus mata rantai kekuasaan raja-raja di Bali.
Di Klungkung berkembang cabang seni dan kerajinan yang mengacu pada kehidupan budaya dan agama. Desa Tihingan adalah desa yang sangat terkenal dalam hal industri gamelan, Desa Budaga dikenal sebagai pembuat perangkat upacara perunggu dan kuningan, sedangkan Desa Satria dikenal sebagai daerah pengrajin tedung dan perangkat busana pura. Sementara Desa Kamasan terkenal dengan lukisan klasik wayang yang tidak semata-mata berupa lukisan namun sarat dengan ajaran susastra-agama.