Selama ini dalam menjalankan tata kehidupan bermasyarakat mereka berpegang teguh pada peraturan adat desa yang sudah ditulis sejak abad 11—kemudian diperbarui tahun 1842 karena yang asli terbakar. Dengan kekukuhan tersebut, hingga saat ini Tenganan berhasil bertahan dari gerusan arus deras perubahan.
Ketika Kuta sudah penuh gemerlap dengan kehadiran hotel dan arus pelancong yang melimpah, Tenganan tetap bertahan dengan tiga balai desanya yang bersahaja dan deretan rumah adat yang satu sama lain persis sama. Bahkan keturunan pun mereka pertahankan keasliannya dengan melakukan perkawinan sesama warga desa.
Memasuki kawasan yang mulai tersentuh pariwisata sejak tahun 1960 ini, kamu harus melalui gerbang sempit yang cukup lewat satu orang. Sebelum masuk, seperti pelancong yang lainnya, kamu harus menyumbang sukarela kepada petugas di bangunan kayu semi permanen. Kamu pun harus mengisi buku tamu. Tidak ada tiket masuk ke desa yang sekaligus menjadi obyek wisata itu.
Kain Gringsing
Tenganan identik dengan kain geringsing. Begitu kaki melangkah ke art shop di dekat pintu masuk, langsung ada tawaran kain geringsing seharga Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta. Mahal memang. Soalnya, dibanding kain-kain pabrikan yang dijumpai di toko-toko tekstil, setiap lembar kain geringsing adalah lembar yang eksklusif, bukan kodian. Harga setinggi itu karena kain geringsing hanya diproduksi di Tenganan dengan pengerjaan yang memakan waktu cukup lama. Sebab warna yang digunakan berasal dari tumbuh-tumbuhan sehingga memerlukan perlakuan-perlakuan khusus.
Kekhasan kerajinan tangan lainnya yaitu anyaman ata—bahan dasar yang didapat dari Pulau Flores. Kerajinan ini mulai dikenal di Tenganan setelah ada tameng (perisai) yang rusak dalam acara geret pandan—sebuah tarian pemuda. Mereka berusaha memperbaiki sendiri tameng yang mereka beli dari luar itu, dan akhirnya mereka mengetahui caranya.